Kali ini saya posting bukan tentang Hape ataupun software,, heheee... Kali ini saya akan psoting cerpen yang menurut saya bisa bikib ngakak. Silahkan saja langsung di baca
Penantian untuk Kelulusan
Oleh B. Yudho
Prabowo
Selesai
Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama tahun 2010/2011, libur panjang ku
hadiri. Sambil menunggu pengumuman hasil Ujian Nasional aku mencoba mendaftar
di Sekolah Menengah Atas yang berstandarkan internasional, walau itu memang
bukan kehendakku yang melainkan keinginan orang tuaku. Sebenarnya telah
kumantapkan pilihanku di sekolah yang lain dan bukan berstandarkan
internasional tentunya. Kucoba saja menjalani apa yang diinginkan oleh kedua
orang tuaku dan mecoba untuk berfikir positif (kalau dalam bahasa Inggris
‘positive thinking’), jika mungkin itu adalah demi kebaikanku dimasa mendatang.
***
Tes
demi tes mulai ku kerjakan demi masuk sekolah yang mereka harapkan, tapi tak
sepenuh hati aku menjalani tes tersebut melainkan dengan setengah hati, karena
aku tidak berharap untuk dapat masuk ke sekolah itu. Saat mengerjakan soal-soal
yang dipergunakan untuk tes pun menjadi sangat sulit di mataku dan membuatku
optimis untuk tidak diterima di SMA itu. Beberapa hari berikutnya adalah
pengumuman, sayangnya bukan pengumuman kelulusan, tapi pengumuman penerimaan di
SMA yang tak perlu kusebutkan namanya. Tak ingin aku mebukanya di sini, ingin
ku buka di depan kedua orang tuaku.
***
Di siang hari itu, aku sampai di rumah
dan ku kabarkan berita ini kepada kedua orang tuaku yang telah menunggu kabar
bahagia dari hasil tes ujian masuk SMA Berstandar Internasional. Kubuka amplop
berisikan hasil dari tes tersebut yang belum berani kubuka tadi. Dalam amplop
tersebut berisikan kertas dengan tulisan yang rapih dan ternyata dari
keterangan di kertas tersebut menyatakan bahwa, aku tidak berhasil masuk ke SMA
itu.
“Wow,
akhirnya aku tidak diterima di SMA ini ”, teriakku kegirangan di dalam
pikiranku.
“Maaf,
Yah. Aku tidak diterima di SMA yang Ayah dan Ibu inginkan”, kataku sambil
menahan luapan kebahagiaan.
Lain
halnya dengan kedua orang tuaku yang nampaknya sangat kecewa sekali dengan
hasil yang kuperoleh.
“Ya sudahlah Nak, mungkin ini bukanlah jalan
yang terbaik untukmu. Mungkin juga kamu masih bisa meneruskan di SMA pilihanmu”,
kata Ayahku yang menemaniku duduk di sebuah sofa depan rumah.
“Iya,
Nak. Benar apa kata Ayahmu”, sambung Ibuku yang juga duduk di sofa depan rumah.
Hari
itu pun berakhir dengan kebahagiaan bagi diriku sendiri dan kekecewaan bagi kedua
orang tuaku. Tapi mereka pun tak ingin larut dalam kekecewaan dari hal yang ku perbuat,
nyatanya mereka masih bisa tersenyum dan melakukan kegiatan sehari-hari yang
biasanya mereka lakukan.
***
Tak
terasa sudah hampir waktunya pengumuman kelulusan yang terhitung dua hari lagi
dari hari ini. Semakin aku pikirkan semakin aku takut, jika aku tidak lulus dari
Sekolah Menengah Pertama. Dipagi hari ini, aku putuskan untuk tidak menyia-yiakan
liburan yang begitu berharga menurutku. Aku pun pergi keluar rumah dan berlari
menuju lapangan dengan penuh semangat, tempat biasanya aku menghabiskan waktu
dihari-hari liburku. Di sana aku bermain bola dengan yang lainnya, tak peduli
besar atau kecil musuh yang kulawan aku tetap berusaha untuk bersenang-senang.
Tak terkira terik matahari sudah semakin menyengat kulitku yang tipis ini.
Kuputuskan untuk segera pulang dan mengisi energi sepenuhnya untuk pergi lagi
bersama teman-temanku. Energi telah terisi dan inilah saatnya untuk pergi lagi.
Teman-temanku mengajak untuk pergi ke pantai yang sudah cukup terkenal di
telinga para pecinta pantai dengan ombaknya yang besar nan indah dan kami pun
tak bosan-bosannya untuk berkunjug ke sana. Pantai itu adalah Pantai
Parangtritis yang selalu padat akan pengunjung dipenghujung hari. Saat sampai
di sana kami langung memilih tempat untuk parkir motor-motor kami, di tempat
yang tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayarkan jasa parkir atau gratis
tentunya. Kami putuskan untuk parkir di tempat saudara salah satu dari temanku.
Motor selesai diparkirkan, saatnya untuk pergi ke pantai untuk menikmati
pemandangan dan airnya yang dingin pada waktu itu.
Matahari
mulai tergelincir menuju ufuk barat, kami pun pulang dengan perasaan yang
senang. Kami pulang bersama-sama tak ada yang saling mendahului, tapi barisan
motor kami hampir memenuhi satu jalanan. Sampai di suatu jalan tepatnya sebuah
tikungan, salah satu teman kami hampir tertabrak oleh truk yang agak besar.
Untungya dia selamat dan mulai saat itu barisan motor kami sudah tidak memenuhi
jalanan lagi karena kami sudah kapok melihat kejadian yang dialami oleh salah
satu temanku.
Setibanya
di rumah aku pun langsung mandi dan pergi ke ruang keluarga untuk menonton
televisi yang sudah berumur belasan tahun. Larut malam dan kantung mataku yang
serasa dibebani oleh dua karung beras memaksaku untuk segera pergi ke kamar
untuk segera tidur.
***
Hari
sudah mulai pagi, cahaya rembulan malam berganti cahaya mentari pagi. Banyak
terdengar suara orang sibuk dengan pekerjaannnya masing-masing. Masih saja aku
mencoba untuk menutupkan mata dan kembali lagi untuk bermimpi. Namun tiba-tiba
aku teringat akan suatu hal.
“Bukankah
hari ini adalah hari terakhir liburku?”, tanyaku pada diri sendiri.
“Oiya,
lalu kenapa aku masih terlelap di tempat tidur ini?”, sekali lagi aku bertanya
pada diriku sendiri.
Akhirnya
aku putuskan untuk beranjak dari tempat tidurku yang nyaman. Lalu menuju kamar
mandi yang letaknya tidak begitu jauh dari kamar tidurku.
“Tinggal
satu hari lagi untuk mengetahui hasil belajarku di Sekolah Menengah Pertama
selama kurang lebih tiga tahun ini”, pikirku di kamar mandi sambil mencuci
muka.
“Sebelum
aku menerima hasil dari kenyataan, sebaiknya ku pergi untuk menenangkan diri.
Menenangkan diri di suatu tempat, suatu tempat dimana tiada orang yang berpikir
jika aku di sana”, pikirku sekali lagi.
Mulai ku langkahkan kaki ini menuju
tempat yang ku inginkan. Ku mulai dengan kaki kanan yang kemudian disusul oleh
kaki kiri dan begitu seterusnya. Lambat, sangat lambat kuberjalan. Ku berjalan
lambat karena aku tak bisa berhenti memikirkan hasil dari Ujian Nasionalku.
“Apakah aku akan lulus? Atau malah
sebaliknya?”, tanyaku pada diri ini.
Pertanyaan yang sama terus saja
berulang-ulang ku tanyakan pada diriku. Separuh perjalanan telah kutempuh,
namun tetap sama pertanyaanku masih saja tidak berhenti dan masih saja sama
dengan pertanyaan yang tadi ku tanyakan pada diriku sendiri. Tanpa terasa
pertanyaanku itu menuntunku bukan ke tempat yang seharusnya menjadi tujuanku,
tapi ke tempat yang lain. Tempat yang sangat jarang sekali untuk aku kunjungi,
mungkin beberapa tahun sekali. Aku pun tak tahu apa nama tempat ini, aku hanya
tahu jika tempat ini tebingnya sangat curam, namun indah. Walau begitu tempat
ini memberikan kenangan yang berkesan bagiku. Bukan karena tempat ini adalah
tempat aku menyatakan cinta kepada seseorang, tetapi tempat ini berkesan karena
di tempat inilah aku kehilangan salah satu seorang temanku. Sampai kini aku
juga masih merasa kehilangan dirinya. Sudah lama terjadi dan aku juga sudah
lupa bagaimana urutan cerita hilangnya temanku itu. Di sini akhirnya
kurenungkan semua kesalahan yang pernah ku perbuat kepadanya dan mulai
mendoakan dirinya agar tenang di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Walau bukan tujuanku
untuk berdiam diri di sini, tapi apa boleh buat sudah terlanjur aku telah
berdiam sangat lama di tempat ini. Aku lanjutkan saja berdiam diri merenungkan
tentang kelulusan besok pagi. Sampai saat ini pertanyaan itu masih saja
terngiang di kepalaku. Masih saja diriku terdiam di sini sambil merenungkan hal
yang tadi.
Sampai matahari telah membuang
wajahnya dari penglihatanku, aku masih saja terdiam di sini. Setelah ku dengar
orang yang mengumandangkan adzan maghrib, barulah aku mengangkat tubuhku yang
lemas rasanya seperti tidak makan beberapa hari. Aku berpikir jika ini sudah
waktunya untuk pulang lagi ke rumah untuk mengistirahatkan dan menyiapkan diri
untuk pengumuman esok hari yang akan diumumkan pada jam sepuluh lebih tiga
puluh menit, untuk Waktu Indonesia Barat.
***
Sesampainya di rumah, langsung saja
aku menuju ke tempat tidur dan ku hempaskan tubuhku ke atas kasur yang nyaman.
Saat aku mencoba untuk menutup mataku, namun tak bisa karena aku mendengar
suara Ibuku yang memanggilku untuk segera mandi.
“Nak, jangan tidur dulu! Mandi dulu
sana!”, suruh Ibuku sambil berteriak lantang.
“Iya, Bu. Aku juga baru mau mandi”,
jawabku pelan yang penuh rasa malas untuk bergegas ke kamar madi dan segera
mandi.
Apa
boleh buat jika memang belum saatnya untuk tidur dulu. Terpaksa aku mandi
terlebih dahulu sebelum tidur.
Tak lebih dari setengah jam aku
selesai mandi, lalu kulakukan seperti hal yang kupikirkan tadi yaitu tidur.
Kubuka pintu kamarku dan kututup lagi, kemudian ku hempaskaan tubuhku ke atas
kasur yang sama dengan yang tadi. Tiba-tiba suara Ibuku terdengar lagi.
“Nak, makanlah dulu, baru setelah
itu kamu boleh tidur”, teriak Ibuku memanggilku sekali lagi.
“Huh, nggak bakalan jadi tidur deh
kalau begini caranya”, gumamku sambil menahan rasa jengkel karena sedari tadi belum jadi tidur.
Sekali lagi aku melangkahkan kakiku,
menuju ruang makan yang letaknya agak berjauhan dari kamar tidurku. Sampai di
ruang makan semuanya sudah selesai makan kecuali aku, lalu kubuka saja tutup
mangkuk yang biasanya berisikan lauk pauk. Berbeda sekali dengan apa yang ada
dalam pikiranku, ternyata sudah tak ada lagi lauk pauk. Aku masih belum
mempercayainya, kubuka lagi tutup yang lainnya, masih seperti yang tadi tak ada
satupun tersisa hanya tersisa nasi putih saja. Otakku makin panas dengan
keadaan yang seperti ini, langsung saja aku kembali lagi ke kamar tidurku
dengan muka cemberut tetunya. Saat hampir membuka pintu, tak terduga aku tanpa
sengaja menendang kursi yang ada di dekat pintu masuk ke kamarku. Hampir tak
bisa aku menahan luapan emosi yang telah kutahan dari tadi. Ku buka lagi pintu
yang tadi ku tutup dan ku tutup lagi pintu yang tadi ku buka, ku tutup pintu
kamarku dengan persaan penuh emosi.
“Jeglaarrr”, suara pintu yang
kututup.
“Suara apa itu, Nak?”, tanya Ibuku.
“Suara jangkrik, Bu”, jawabku sambil
menahan emosi.
“Naaakk”, teriak Ibuku sambil marah.
Tanpa
peduli memikirkan keadaan di luar kamarku, untuk ketiga kalinya kuhempaskan
tubuhku ke atas kasur yang nyaman ini untuk yang ketiga kalinya, sambil
berharap malam ini aku dapat tidur dengan pulas tanpa satu gangguan sekalipun.
***
Cahaya sinar mentari pagi yang
menembus ke jendela kamarkulah yang membangunkanku. Walau sudah terbangun, tapi
rasanya masih ingin tidur lagi karena mataku yang masih terlalu lengket untuk
terbuka. Sampai akhirnya aku teringat jika hari ini adalah hari pengumuman dan
juga salah satu dari sekian hari
pentingku pada bulan Mei ini. Aku segera terbangun dari tempat tidurku, lalu
pergi keluar kamar untuk melihat jam berapakah sekarang. Setelah ku lihat
ternyata jarum jam panjang sudah hampir menunjukkan pada angka sepuluh. Ku
temui Ayahku dan bertanya.
“Yah, kenapa tadi tidak
membangukanku?”, tanyaku curiga.
“Kamu juga tidak berpesan kedapaku
untuk membangunkanmu”, jawab Ayahku santai.
“Ya kan paling tidak tetap
membangunkanku toh?”, balasku agak jengkel.
Langsung saja aku pergi ke kamar
mandi. Kali ini aku mandi dengan cepat karena aku sudah harus ada di sekolah
sebelum jam sepuluh untuk persiapan. Selesai mandi aku ganti dengan seragam kebanggaanku,
untuk saat ini masih seragam biru putih. Tak butuh waktu lama untuk ganti,
tanpa berlama-lama aku menuju garasi untuk mengambil motor dan menggunakannya
untuk pergi kesekolah. Sebelum pergi ke garasi aku menghampiri Ayahku untuk
menyampaikan pesan.
“Yah,
jangan lupa nanti jam sepuluh lebih tiga puluh Ayah sudah harus ada di
sekolahanku ya!”, kataku gugup.
“Iya,
nak. Ayahmu ini tidak pikun”, jawabnya sambil tertawa.
***
Di
jalan, tanpa peduli pengguna jalan lain aku melaju sekencang-kencangnya demi
datang kesekolah tepat waktu. Sesampainya di sekolah, sudah seperti apa yang ku
harapkan. Aku sampai di sekolah jam sepuluh kurang seperempat. Kucari semua
teman-temanku untuk berkumpul dan berdo’a demi kelulusan masing-masing. Tak
terasa lama setelah itu tibalah waktunya yang kami nanti-nantikan yaitu
pengumuman kelulusan. Satu persatu orang tua wali murid masuk ke kelas untuk
dibagikan hasil Ujian Nasional. Beberapa saat setelah itu, semua orang tua wali
murid keluar dari kelas dan menghampiri anak-anaknya, kecuali diriku. Semuanya
senang karena mereka lulus dengan nilai yang baik, sedangkan diriku sendiri
masih kebingungan mencari Ayahku.
“Dimana
sih, Ayah? Atau jangan-jangan dia lupa?”, pikirku sendiri.
Disaat
sekolah ini sudah hampir sepi, aku melihat seseorang yang sangat ku kenali,
yaitu Ayahku sendiri.
“Darimana
saja sih?”, ku bertanya pada Ayahku.
“Maaf,
Bak. Ayah tidak bisa datang tepat pada waktunya karena Ayah masih harus
menyelesaikan banyak urusan”, jawabnya tenang.
“Ya,
sudah sekarang dimana Ayah harus mengambil hasil UN-mu?”, sambungnya.
“Baiklah,
kita temui saja wali kelasku”, ajakku.
Kucari-cari
wali kelasku, namun tidak juga ketemu. Sampai akhirnya seorang guru
memberitahukan dimana keberadaan wali kelasku. Berkat informasi dari guru itu
tadi, aku dapat menemukan wali kelasku. Setelah Ayah dan Ibu wali kelasku
berbincang-bincang agak lama, akhirnya aku berhasil mendapatkan hasil Ujian
Nasionalku yang diberikan ke dalam amplop coklat. Akhirnya, setelah ku
mendapatkannya langung saja ku buka dan hasilnya aku lulus dengan nilai yang
memuaskan. Aku bahagia dapat lulus dengan nilai yang memuaskan.
***